Bagaimana jika tiga orang dengan kelainan psikologis berbeda berada di dalam satu mobil dan mengadakan sebuah perjalanan demi melihat laut. Hasilnya adalah sebuah film yang unik, kocak, serta mampu mengaduk-aduk emosi penontonnya.
Dalam film Vincent Will Meer diceritakan tokoh Vincent sebagai tokoh utama yang menderita Sindrom Tourette. Apakah Sindrom Tourette ini? Hal itu langsung terjawab di awal pemutaran film. Adegan pembuka dilakukan di sebuah gereja yang sedang mengadakan upacara pemakaman. Saat sang Pastur memberikan kata-kata penghormatan kamera bergerak menyorot seorang lelaki yang mulai bertingkah aneh dan tidak bisa duduk tenang mengikuti jalannya upacara pemakaman. Lelaki tersebut, Vincent, seakan-akan berusaha mati-matian menahan kata-kata yang hendak keluar dari mulutnya. Seperti layaknya seseorang yang hendak bersin, Vincent menahan diri untuk tidak mengeluarkan kata yang sedikit lagi akan berhamburan dari mulutnya. Usaha Vincent ternyata sia-sia, hanya dalam hitungan detik dia mulai mengeluarkan kata-kata kotor yang tidak dapat ditahan beserta dengan gerakan tubuh aneh yang langsung mengundang perhatian seluruh pengunjung gereja. Di bawah tatapan tajam ayahnya, Vincent keluar dari gereja dan mengeluarkan seluruh kata yang ditahannya di dalam tadi. Kesal, sedih, marah, semuanya bercampur baur dalam sorot wajah Vincent setelah merasa lega dapat melepaskan kata yang tertahan. Sesaat kemudian Vincent tergugu di depan pintu gereja, menahan tangis sambil memukuli kepalanya sendiri.
Vincent di depan pintu gereja
Sindrom Tourette adalah kelainan syaraf yang menyebabkan seseorang tidak dapat mengendalikan kata-kata yang ingin dikeluarkan dan tidak mampu mengendalikan gerak tubuhnya. Dalam kasus Vincent, dia seringkali menyentakkan kepala ke berbagai sisi, menegangkan urat lehernya, mengeluarkan kata-kata kotor yang tidak disadari, sampai menendang atau memukul jika Vincent tidak dapat menahan emosinya. Upacara kematian ibu Vincent yang dijadikan pembuka film tadi menyeret Vincent ke sebuah tempat rehabilitasi, ayah Vincent merasa tidak mampu menangani kelainan psikologis Vincent sehingga lebih memilih untuk menyerahkan Vincent kepada ahlinya. Vincent yang tampaknya tidak terlalu peduli dan tidak dekat dengan ayahnya tampak tidak peduli, dia membawa foto ibunya beserta sebuah kaleng permen berisi abu ibunya sebagai harta berharga ke tempat rehabilitasi tersebut.
Tidak akur dengan ayahnya
Di tempat rehabilitasi Vincent ditempatkan bersama Alexander yang mengidap neurosis kompulsif. Alexander yang teramat sangat gila kebersihan ini tentu sangat keberatan dengan keputusan Dr. Rose tersebut. Berbagai kejadian konyol karena kegilaan Alexander terhadap kebersihan disajikan dalam beberapa adegan dan sukses mengocok perut penonton. Contohnya saat Vincent yang terburu-buru masuk ke dalam toilet yang terletak di dalam kamar, dari luar Alexander terus-terusan menggedor pintu kamar mandi dan memperingatkan Vincent untuk tidak menggunakan handuknya maupun buang air besar di dalam sana. Vincent yang kesal dengan ulah Alexander akhirnya mengeluarkan bunyi-bunyian seperti suara kentut, Alexander yang mendengar bunyi tersebut menjadi tambah histeris dan semakin panik menggedor pintu kamar mandi.
Selain Alexander, Vincent berkenalan dengan Marie yang bertugas mengajak Vincent untuk berkeliling ke seluruh tempat rehabilitasi. Di awal perkenalan mereka, Marie merasa aneh dengan sikap Vincent dan Sindrom Tourette yang Vincent idap. Ketika mereka mengobrol sambil merokok di taman Marie menyentuh lengan Vincent dengan telunjuknya dan Vincent langsung kambuh dan mengeluarkan kata-kata kotor sambil menyentakkan tangan dan kepalanya. Setelah Vincent bisa menguasai dirinya Marie mencoba menggenggam lengan Vincent dan tidak terjadi sesuatu yang aneh, sepertinya Vincent sudah bisa menguasai dirinya. Merasa penasaran, Marie pun mengecup bibir Vincent dan Vincent langsung gelagapan panik sembari menyemburkan bibirnya dan menyentakkan kepala serta kakinya sambil mengeluarkan sederet kata-kata kotor.
Marie mencoba menggenggam lengan Vincent
Walau terlihat seperti seseorang yang nyaris normal, ternyata Marie mengidap anoreksia akut dan berwatak keras. Dia tidak mau mengikuti sedikitpun saran Dr. Rose dan selalu membangkang. Terakhir kali Marie masuk ke ruangan Dr. Rose dia mendapat ancaman: jika Marie tetap menolak untuk makan maka sebuah selang akan dimasukkan ke dalam lambungnya demi mencukupi kebutuhan nutrisi tubuhnya. Tanpa Dr. Rose sadari ternyata Marie mencuri kunci mobil Dr. Rose saat pertemuan mereka yang terakhir tersebut. Malam itu juga Marie menghampiri Vincent untuk mengajaknya pergi kemanapun Vincent mau. Dan Vincent ingin ke laut, untuk melihat tempat yang menjadi latar dari foto Ibunya yang selalu Vincent bawa. Di malam pelarian Vincent dan Marie dari tempat rehabilitasi, Alexander memergoki mereka dan mengancam membuat keributan untuk menggagalkan rencana mereka. Tidak mau ambil pusing, Vincent dan Marie 'menculik' Alexander dan memasukkannya paksa ke dalam mobil curian. Dan petualangan mereka yang sebenarnya pun dimulai. Sementara itu ayah Vincent dan Dr. Rose yang menyadari tiga pasiennya menghilang ikut mengejar Vincent dan komplotannya untuk dikembalikan ke tempat rehabilitasi. Tanpa mereka sadari, sesungguhnya ayah Vincent dan Dr. Rose pun tengah ikut berpetualang bersama Vincent.
Sutradara Rald Huettner mengemas Vincent Will Meer ke dalam sebuah film perjalanan yang menarik. Ketika ketiga orang dengan masing-masing kelainan psikologis disatukan, terjalin sebuah cerita apik tentang persahabatan yang terbentuk secara tiba-tiba di tempat dan kondisi yang tidak terduga. Pemandangan alam Jerman yang ciamik ditampilkan sebagai latar dimana semua petualangan dan persahabatan ini tercipta. Penonton tidak hanya dimanjakan dengan alur cerita unik dan konyol, tapi juga oleh sinematografi yang menyajikan keindahan alam Jerman. Karena rombongan Vincent ingin pergi ke Italia untuk melihat laut, maka mereka menempuh jalur melewati Bavaria, Munich, Austria, untuk kemudian sampai ke Italia. Rangkaian pegunungan Alpen yang diambil dengan teknik menantang sinar matahari sehingga menciptakan pencaran titik bokeh dalam gambar memberi sudut pandang yang berbeda. Vincent yang tiba-tiba mencetuskan ide ingin naik ke puncak gunung membawa penonton kepada hamparan padang rumput, sungai berarus deras, jalur trekking yang biasa digunakan untuk hiking, jejeran pegunungan yang berwarna biru dari kejauhan dengan tumpukan salju di atasnya, sampai pemandangan menakjubkan yang diambil dari atas pegunungan saat Vincent berhasil sampai ke puncak dan mendaki palang yang menjadi simbol puncak pegunungan. Dan lagi-lagi, penonton kembali menahan napas dan berdecak kagum dengan keindahan pemandangan yang ditampilkan.
Ngobrol di puncak gunung dengan pemandangan secantik ini???
Sutradara Rald Huettner pun tampaknya tidak mau bersusah payah membuat sebuah film rumit yang menggambarkan hubungan antar manusia di dalamnya. Cerita di dalamnya cenderung simpel, tidak dipenuhi konflik maupun menggali lebih dalam permasalahan sang tokoh utama. Tidak sedikit kritikus film yang mengatakan film ini dangkal karena tidak menggali permasalahan-permasalahan yang ada. Bagi saya justru Rald Huettner memang sengaja menggambarkan Vincent Will Meer sedangkal itu. Vincent Will Meer lebih seperti sebuah chapter dalam cerita kehidupan yang diangkat ke layar lebar, di dalamnya tidak perlu digali permasalahan ataupun mendramatisir suasana yang ada. Semua berjalan santai, ringan, dan apa adanya. Dan seperti sebuah cerita perjalanan pada umumnya, tidak ada konflik tiga babak di dalamnya. Tidak ada penyelesaian masalah seperti yang selalu muncul dalam penutup film Hollywood. Yang sebenarnya ingin disampaikan film ini adalah bagaimana setiap orang dalam film ini (Vincent, Alexander, Marie, ayah Vincent, Dr. Rose) memandang ulang hidup dan pandangan mereka terhadap lingkungan dan orang-orang di sekitarnya.
Sebagai salah satu film pilihan dalam German Cinema yang menjadi rangkaian acara Jerin (Jerman Indonesia) yang diadakan sejak Oktober 2011 kemarin, Vincent Will Meer bisa dibilang sukses untuk mengenalkan sisi lain dari Jerman. Untuk saya pribadi yang suka traveling, jelas film ini memuaskan mata saya dengan sinematografi yang begitu kaya dan disajikan selama 96 menit film berjalan. Menonton film ini seakan ikut masuk dan bergabung ke dalam petualangan Vincent menjelajahi Jerman, Austria, dan Italia demi melihat laut.
PS: Saat searching trailer Vincent Will Meer di Youtube, ternyata film ini bisa dilihat di Youtube dan dibagi ke dalam 6 bagian (setiap bagian berdurasi sekitar 15 menit). Bisa banget dijadiin alternatif menonton jika penasaran setelah membaca tulisan ini. Sayangnya tidak tersedia teks dalam film tersebut sementara filmnya menggunakan bahasa Jerman. Yah, anggap saja lagi menonton film bisu dan menebak-nebak maksud dialog para tokohnya dari bahasa tubuh yang dimainkan. Kalau penasaran dengan keindahan alam Jerman yang saya sebut sebelumnya bisa melihat di part 4 dan part 5 (search dengan keyword Vincent Will Meer).
Source: semua foto dalam tulisan ini diambil dari http://www.moviereporter.net/galerie/731-vincent-will-meer
Source: semua foto dalam tulisan ini diambil dari http://www.moviereporter.net/galerie/731-vincent-will-meer
0 Response to "Vincent Will Meer: Sebuah Film Perjalanan"
Posting Komentar