Siapa di antara kalian yang pandai mengikat dasi? Siapa yang semasa kecilnya selalu membantu sang Ayah mengikat dasi di kerah kemejanya sebelum beliau berangkat kerja? Saya tidak. Saya, mama, dan adik saya tidak tahu cara mengikat dasi. Seumur hidup kami selalu asing dengan sehelai bahan panjang yang terikat manis di kerah kemeja pria. For simple reason cause my dad never wear tie for the rest of his life.
Papa berasal dari kelas pekerja lapang yang lebih sering bergulat dengan pekerjaan di luar ruangan. Dasi bukanlah sesuatu yang beliau butuhkan. Dia lebih memerlukan helm untuk melindungi kepala saat melakukan pekerjaan dibanding dasi sebagai atribut kerja para pekerja kantoran. Dia lebih memerlukan sapu tangan untuk menyeka keringat karena sengatan sinar matahari akan setia menemaninya bekerja seharian. Dia lebih memerlukan sebuah tempat minum mungil yang bisa membantunya melepas dahaga juga menjaga kesehatan ginjalnya karena dia tidak bisa bolak-balik pergi ke dispenser air minum di tengah pekerjaannya.
Keluarga kami bukanlah kalangan keluarga berada yang dapat memenuhi segala kebutuhan keluarga hanya dengan menjentikkan jari. Cukup. Kami merasa telah diberi cukup rezeki oleh yang Maha Kuasa. Karena pada dasarnya manusia adalah mahkluk yang tidak pernah puas maka kami lebih memilih merasa cukup dibanding terus-menerus merasa kekurangan materi. Orang tua kami selalu berusaha memenuhi kebutuhan dan keinginan kedua anaknya, walau tidak bisa dipenuhi pada saat itu juga mereka akan berusaha untuk memenuhinya di kemudian hari. Atau mungkin di kemudian bulan…
Pernah suatu kali adik saya merengek ingin makan ayam di gerai cepat saji yang berjanji memberikan hadiah mainan jika kami makan disana. Si adik seringkali melihat iklan promosi tersebut dari majalah Bobo yang kami baca bersama. "Iya, nanti kita makan disana ya”, janji Papa saat anak bungsunya lagi-lagi merengek.
Pada akhir bulan, ketika gaji beliau telah dibayarkan, Papa mengajak kami sekeluarga pergi ke Bogor tempat gerai ayam cepat saji tersebut berada. Dengan menggunakan bus karena saat itu kami hanya memiliki sebuah Vespa tua untuk menunjang mobilitas sehari-hari.
Saya dan adik duduk bersebelahan di kursi yang mengelilingi sebuah meja mungil. Adik saya terus-menerus menggoyangkan kakinya, terlalu excited karena sekarang dia berada di tempat makan yang iklannya selalu dia lihat di majalah Bobo. “Teteh sama Pipik mau makan apa?” tanya Papa sebelum beliau pergi memesan.
“Ayam”, jawab saya polos. Bukankah kami sedang berada di tempat makan yang menjual ayam? Apalagi yang bisa saya makan selain ayam?
“Mau bagian paha, dada, atau sayap?”, Papa bertanya lagi.
“Maunya ayam”, saya belum mengerti bahwa daging ayam yang dijual dibagi ke dalam bagian-bagian tertentu. Kalau dada berarti banyak daging dan tulangnya sedikit, sedangkan kalau bagian sayap terdiri dari tulang lunak ayam dengan sedikit daging yang mengitarinya.
Papa menyerah menanyai saya dan beralih ke anak bungsunya “Kalau Pipik mau apa?”.
“Pipik mau yang mainannya skuter Pa”, adik saya ini sejak awal memang tidak terlalu tertarik untuk makan ayam di gerai cepat saji sepertinya. Dia lebih tergoda dengan iming-iming hadiah yang ditawarkan dibanding makanannya. Dan kami pun menghabiskan sisa malam itu dengan makan di gerai cepat saji. Terasa canggung karena kami tidak terbiasa makan di tempat seperti itu. Sedangkan adik saya dengan ceria memainkan skuter mainannya di atas meja sementara mama memaksanya makan dan menyuapinya.
Di perjalanan pulang, adik saya tetap asik memainkan skuternya. Sambil membelai kepala anak lelaki kesayangannya ini Papa seperti bergumam, “Gimana Pik? Enak nggak ayamnya?”.
“Enggak, lebih enak ayam goreng buatan mama”.
Setan kecil ini telah mengusik pikiran Papa selama beberapa minggu terakhir dengan permintaan anehnya, mengerjai kami sekeluarga untuk pergi sedemikian jauh ke Bogor, hanya untuk sebuah mainan dari gerai ayam cepat saji. Papa hanya geleng-geleng kepala. Inilah akibatnya kalau anak kecil digoda oleh iklan.
Kejadian ini sepertinya sangat membekas di hati Papa. Ketika kami beranjak dewasa beliau seringkali bercerita tentang hal ini. Dari sudut pandang beliau tentu saja. “Papa tuh pusing dan nggak ngerti gimana caranya makan di gerai fast food. Gimana cara mesennya, berapa harganya. Papa sampai tanya-tanya sama teman yang pernah makan kesana. Kalian tahu nggak berapa uang yang Papa bawa waktu itu? Nyaris setengah gaji Papa bawa kesana karena takut uangnya nggak cukup. Eh, ternyata harganya segitu aja, ternyata rasa ayamnya segitu aja, ternyata si Pipik pengen mainannya doangan. Terus sekarang kalian udah bisa pergi sendiri ke gerai fast food”. Kemudian beliau akan tertawa ceria mengingat masa beberapa puluh tahun silam tersebut.
Keluarga kami bukanlah keluarga yang berlebih, tapi orangtua kami selalu menempatkan pendidikan di urutan nomor satu. Papa ingin anak-anaknya dapat menempuh pendidikan setinggi-tingginya. Lebih tinggi daripada yang pernah beliau dapat. Jika saya dan adik bertanya “Pa, aku pengen ikut les Bahasa Inggris. Ada dananya nggak?’. Tidak sampai satu detik setelah kami melontarkan pertanyaan tersebut Papa akan langsung menjawan “Ada!” dengan nada tegas. Seakan untuk menguatkan dirinya sendiri bahwa dia dapat menyediakan dana lebih untuk memenuhi keinginan anak-anaknya.
Di belakangan hari. Ketika saya beranjak dewasa, masa dimana saya lulus kuliah dan memiliki pekerjaan sendiri, saya baru tahu bahwa beliau jungkir balik mencari uang untuk membayar semua biaya les yang kami ambil… Pun saya baru tahu bahwa mama juga melakukan pengorbanan yang tidak kalah besarnya.
Kedua orangtua kami selalu mengalah demi kebutuhan akademik saya dan adik. Mama rela tidak memiliki rumah idamannya demi memiliki simpanan yang cukup untuk biaya pendidikan anak-anaknya. Papa rela terus-terusan memakai Vespa tua yang suaranya berisik tiada tara dan menjadi sasaran ledekan anak buahnya. Beliau lebih suka melihat anak-anaknya sibuk pergi mencari ilmu dibanding mengendarai sebuah mobil baru yang deru mesinnya halus.
Saya tidak akan pernah melupakan teriakan membahana yang mengucapkan kata Hamdallah di pagi buta saat kami sekeluarga menelusuri satu persatu daftar nama peserta SPMB yang lulus ujian di koran pagi dan menemukan nama saya tertera disana. Saya selalu ingat tangisan bahagia papa dan mama ketika wali kelas adik saya mengabarkan anak bungsu mereka lolos saringan UMPTN di sebuah universitas negeri terkemuka di kota Semarang. Bahkan saya masih merasakan tangan saya bergetar saat menelpon rumah seusai sidang skripsi dan mengabarkan kelulusan saya. Di seberang sana saya dapat mendengar suara papa bergetar mengucapkan syukur kepada sang Maha Pencipta, suara saya saya pun kalah dengan isak tangis yang mengiringi saat saya mengucapkan terimakasih kepada beliau. “Makasih Pa, udah nyekolahin aku sampai setinggi ini”.
Beberapa minggu yang lalu adik saya, si anak bengal yang seringkali menyita pikiran orangtuanya itu, akhirnya menamatkan studi S1 nya. Anak kebanggaan papa itu berhasil jadi insinyur mesin. Di malam hari sepulangnya saya dari bekerja papa mengungkapkan semua perasaannya dengan linangan air mata. Betapa dia sangat bangga dengan kedua anaknya yang berhasil jadi sarjana dari universitas negeri. Papa tidak peduli dengan cibiran orang lain, papa tidak ambil pusing saat orang lain berkata buruk tentangnya di belakang punggungnya, dia bisa membalas semua itu dengan teriakan kemenangan “Kedua anak saya lulus S1 dari universitas negeri. Tak mengapa kekurangan secara materi tetapi saya berhasil mengantarkan anak saya jadi sarjana”.
Papa selalu terlihat kuat dan tegar di mata kami. Papa adalah sosok idola saya. Di belakang, saya pun tahu bahwa Papa adalah seorang sosok yang amat rapuh.
Di hari wisuda lagi-lagi masalah dasi menjadi pengingat saya akan semua pengorbanan dan perjuangan papa. Saya sengaja membelikan sehelai dasi untuk adik saya kenakan di hari kelulusannya. Sebelum bergabung dengan wisudawan lain dia menghampiri saya dengan panik, “Ini gimana cara gue ngiketnya teh”.
“Eh, mana gue tau”. Waktu mantan saya seminar pra-sidang dulu teman-temannya sibuk mengingatkan saya untuk membetulkan letak dasinya yang miring. Saya cuma tertawa-tawa dan pura-pura meyakinkan dasinya baik-baik saja sampai akhirnya seorang teman perempuan lain berinisiatif untuk membetulkan dasinya. Bahkan saya tidak bisa melihat apakah dasi itu terikat dengan baik dan benar, apakah dasi tersebut miring atau tidak, I can’t Tie a Tie for God sake!
Dasi hadiah itu akhirnya tergeletak sia-sia di kotaknya. Adik saya masuk ke gedung wisuda dengan kemeja tanpa dasi di bawah toganya. Dia berjalan bangga dan tidak peduli dengan ketidakhadiran dasi sebagai pelengkap atributnya di hari itu. Dia seakan berkata “Yeah, gue nggak pake dasi, bokap gue juga nggak pernah pake dasi seumur hidupnya. Tapi gue lulus kuliah berkat dana dari hasil jerih payah bokap gue yang pekerjaannya tidak berdasi. So what???”.
Kedua orangtua saya berjalan dengan bangga mengapit si bungsu masuk ke dalam gedung wisuda. Seremoni wisuda tidak hanya perayaan bagi para wisudawan yang berhasil lulus kuliah, tapi juga perayaan bagi semua orangtua yang berhasil mengantarkan anak-anaknya lulus kuliah. Baik para orangtua maupun para anak semuanya telah berhasil dengan caranya masing-masing.
Untuk mama dan papa paling hebat sedunia, ungkapan terimakasih kami tidak akan pernah cukup. Materi tidak akan pernah bisa membalas semua pengorbanan yang telah kalian lakukan. Yang bisa kami berdua lakukan hanyalah membuat bangga kalian dengan apa yang kami telah capai dan raih. Dan segala hal yang kami lakukan selalu berujung pada sebuah keinginan untuk membuat kalian bangga.
Tunggulah… Sabarlah… Kedua anakmu yang bengal ini masih ingin terus membuat kalian bangga.
0 Response to "Dasi Wisuda"
Posting Komentar