Kemarin, di atas bus pulang yang penuh sesak saya bertemu dengan seorang teman SMU yang baru sebulan terakhir bekerja di Jakarta dan bolak-balik rumah-kantor setiap harinya (baca: jadi komuter). Kami banyak mengobrol, mulai dari pekerjaan hingga keluhan tentang kondisi jalan yang selalu macet dan minimnya jumlah bus pulang. “Yah, nasib komuter” ucap saya sambil menarik napas. Semrawutnya jalanan ibukota dan moda transportasi yang jauh dari kata memuaskan; sebuah kondisi menyebalkan dimana para komuter tidak memiliki kuasa untuk mengubahnya.
Dari obrolan kami, saya teringat kembali akan sebuah fakta penting: jadi komuter itu cape! Contohnya cerita si teman yang berangkat jam 5.45 pagi ke terminal utama untuk naik bus menuju ke Jakarta dan kemudian melanjutkan dengan kopaja menuju kantor. Total jendral waktu yang dihabiskan untuk berangkat kerja adalah 3 jam. Gila, bahkan untuk ukuran saya yang setiap hari pulang pergi Jakarta – Bogor pun ukuran 3 jam untuk berangkat kerja termasuk dalam kategori lama dan melelahkan. Padahal pagi hari harus dibuat sebagai awal hari yang menyenangkan, bagaimana kamu dapat melewati hari yang menyenangkan jika pagi hari sudah diawali dengan pagi menyebalkan dan berpotensi merusak mood seharian. Saya yang sudah lebih awal menjadi komuter berbaik hati memberi saran beberapa rute lain yang bisa ditempuh dengan waktu yang lebih singkat, namun respon yang didapatkan dari setiap alternatif rute itu hanyalah gedikan di bahu beserta kata “Ah ribet”. Dari sini saya sadar, jadi komuter itu harus mau ribet, mau cape.
Kalau kamu memilih menjadi seorang komuter berarti kamu harus mau ribet. Rute yang efektif dan efisien untuk menghemat waktu dan ongkos itu tidak tercipta begitu saja, kamu sendirilah yang harus menemukannya. Masalah ini hanya dapat dipecahkan dengan banyaknya daerah yang kamu sambangi menggunakan kendaraan umum atau nebeng dengan kendaraan pribadi temanmu. Semakin luas pengetahuanmu mengenai jalanan ibukota maka kamu bisa mencari sebanyak-banyaknya rute alternatif untuk memudahkan jalan pergi dan pulang dari rumah ke kantor. Tanpa kamu sadari kamu akan mampu menunjukkan arah kepada orang lain, dapat berdebat tentang sebuah rute dengan orang lain, dan tunggu saja sampai suatu hari nanti kamu akan berdebat dengan papamu di dalam mobil tentang rute alternatif yang harus diambil saat sebuah jalan protokol ditutup dan papamu akan terheran-heran dengan banyaknya jalan tikus yang belum beliau ketahui dan dapat mengantarkan kalian ke tempat tujuan tanpa kesulitan berarti. Selain itu semakin pintar otakmu mengingat jalan-jalan di Jakarta maka semakin kecil kemungkinan supir taksi memeras ongkos dengan membawamu melewati rute berputar yang membuat nilai argo semakin melonjak.
Jadi komuter itu harus mau mikir dan terus berpikir. Saat pagi hari kamu harus tahu jam berapa harus berangkat kerja untuk menghindari kemacetan, apa yang harus kamu lakukan jika kamu ditinggal bus langganan karena kelamaan dandan dan sarapan di rumah, daerah mana saja yang menjadi titik kemacetan, dan moda transportasi apa dapat diandalkan untuk menembus macet dan mengantar kamu sampai ke kantor tanpa terlambat. Saat pulang kerja pun kamu harus memutar otak lagi bagaimana caranya bisa mendapatkan bus yang antriannya sudah mengular dalam waktu singkat, harus mampir kemana jika azan magrib keburu berkumandang sebelum kamu sampai ke rumah, dan apakah kamu akan tetap menunggu bus yang belum datang selama satu jam lebih atau segera beralih mengambil rute alternatif.
Menjadi komuter berarti harus berhadapan dengan masalah klasik ibukota: macet, banjir, berdesakan di atas bus atau kereta, jumlah moda transportasi yang terbatas, belum lagi tindak kejahatan yang modusnya semakin beraneka ragam. Jadi komuter itu harus kuat secara mental dan fisik karena kamu akan selalu berhadapan dengan masalah yang sama setiap harinya: berdesakan di atas bus, mengalami macet panjang yang menguras waktu, menunggu bus yang hanya-supir-dan-Tuhan-yang-tahu kapan bus tersebut sampai di halte dan mengangkut penumpang, sampai potensi pelecehan seksual ringan yang sangat mungkin terjadi. Namun jadi komuter juga membuat kamu menjadi kuat secara mental dan fisik, kamu tahu kapan harus menanggapi atau tidak menanggapi sebuah rayuan iseng yang berpotensi kepada pelecehan seksual, kamu akan berani mengacungkan jari tengahmu kepada orang yang melihat tubuhmu dari ujung kepala sampai ujung kaki selama satu jam lebih, kamu akan lebih sehat karena sering berlari mengejar bus demi bisa sampai kantor dan pulang ke rumah tepat waktu, dan kamu akan bisa belajar bagaimana caranya melompati pagar, portal, tangga bus yang tinggi saat mengenakan rok pendek.
Jadi komuter itu melelahkan. Berangkat kerja subuh pulang ke rumah malam hari, jarang melihat matahari karena seharian berada di dalam kantor terus. Saat mata masih terasa lengket karena kurang tidur kamu sudah harus berangkat kerja lagi, bergelantungan di atas bus sambil menghabiskan sisa-sisa kantuk. Saat badan terasa lelah dan pikiran suntuk karena pekerjaan yang menumpuk kamu harus berjuang untuk bisa pulang ke rumah. Jadi komuter itu melelahkan, tapi jika kamu melihat dengan perspektif yang berbeda kamu akan sadar ternyata jadi komuter juga dapat menyenangkan. Bagaimana kamu memiliki banyak waktu di perjalanan untuk dihabiskan dengan membaca, mendengarkan musik, mengkhayal, atau mencuri dengar percakapan orang disebelahmu hanya untuk sekedar membunuh bosan. Kamu dapat berkontemplasi tentang banyak hal di dalam perjalanan, tiba-tiba kamu bisa berubah menjadi orang yang sangat peduli dengan lingkungan sekitar dan ingin memberi sebuah pisang untuk seekor monyet kecil yang dipaksa beraksi di jalanan, tiba-tiba kamu merasa sangat bersyukur memiliki pekerjaan dan penghasilan tetap saat melihat dua orang tukang sapu jalanan menikmati nasi bungkus mereka di bawah jembatan halte busway dan mensyukuri berkah yang mereka dapatkan di hari itu, tiba-tiba juga kamu dapat berubah menjadi seseorang yang sangat tidak pedulian saat menghadapi pengamen dan tukang palak menyebalkan. Saat menjadi komuter kamu memiliki kesempatan untuk melihat sudut-sudut kehidupan tersembunyi dari Jakarta. Kota ini akan membuka dirinya jika kamu cukup bersabar untuk mengadapi semua kelakuan minusnya.
Saat menjadi komuter kemampuan beradaptasimu akan lebih terasah saat menghabiskan waktu cukup lama di perjalanan, kamu dengan mudahnya dapat menyesuaikan diri dengan kondisi dan lingkungan yang baru. Kamu akan menjadi seseorang yang lebih dinamis dan fleksibel, kamu sendiri yang dapat memutuskan apa yang akan dilakukan jika menghadapi beragam kondisi di luar kebiasaan sehari-hari. Apakah kamu ingin pergi makan dulu untuk menghabiskan semangkuk besar indomie super pedas untuk menghilangkan kesal setelah ditinggal bus pulang yang sudah dinanti selama satu jam lebih, atau kamu lebih suka mengambil alternatif rute lain daripada menunggu bus yang baru akan tiba satu jam kemudian. Kepercayaan dirimu akan semakin meningkat dan kamu tidak akan sungkan lagi untuk bertanya apakah bis tujuan rumahmu sudah lewat atau belum kepada ibu-ibu yang duduk di halte atau kepada penjual makanan yang setia menunggu pelanggan. Dengan mudahnya kamu dapat memulai sebuah pembicaraan dengan orang-orang baru, mencairkan suasana, dan voila jumlah teman sesama komutermu semakin bertambah banyak. Teman-teman sesama komuter adalah investasi perjalanan yang paling dapat diandalkan, dari mereka kamu bisa mengetahui informasi terbaru mulai dari kemacetan, rute busway yang baru dibuka, sampai selentingan tentang kebijakan pemerintah untuk penataan transportasi Jakarta.
Jadi komuter itu cape. Jadi komuter itu nggak boleh manja. Jadi komuter itu harus bisa mengandalkan diri sendiri. Tapi bukan berarti menjadi komuter lalu kamu menjadi dewa sabar yang anti marah dan anti komplain. Kesabaran seseorang selalu memiliki batasannya, kamu berhak protes saat bus yang kamu tunggu tidak kunjung datang, kamu juga berhak marah dan kesal saat semua hal menyebalkan datang beruntutan: hujan, macet, banjir, bis nggak dateng-dateng, pulang terlambat, perut lapar, badan cape. Hanya saja masalahnya kamu mau marah sama siapa?
Jadi komuter itu melelahkan. Kalau kamu merasa tidak sanggup menjalaninya mungkin kamu lebih cocok untuk kost di Jakarta. Namun tawaran menggiurkan untuk merasakan dan turut andil dalam dinamika hidup kota Jakarta, merasakan ritme hidup sebagai seorang komuter, ditambah lagi berbagai pengalaman menyenangkan yang seringkali tidak terduga di dalam perjalanan membuat saya lebih menikmati rutinitas sebagai komuter dibanding menjadi anak kost yang bisa menghabiskan banyak waktu di kamar kost dengan menonton sinetron (eh?). Pengalaman dan kesenangan itu ada di luar sana, perjalanan secara tidak langsung akan mendewasakan saya. Rasanya hampir mirip dengan pengalaman backpacking, para backpackers itu bangga saat berhasil menaklukkan negara tetangga dengan budget minim. Saya pun bangga saat orang-orang berdecak kagum atau menggeleng-gelengkan kepalanya saat mendengar rumah saya di Bogor dan saya pulang-pergi dari rumah ke kantor, menaklukkan keruwetan jalanan dan transportasi ibukota setiap harinya. Hanya menghabiskan waktu lima jam di perjalanan saja kok, it's not a big deal right :)
0 Response to "Jadi Komuter Itu…"
Posting Komentar