.....
Kopi Toraja hitam di depan saya mengepul hangat, aromanya harum dan tidak tajam menusuk hidung. Takut-takut saya menyesapnya sedikit dan bersiap dengan sengatan pahit yang segera memenuhi mulut. Ajaib, segera setelah kopi melewati tenggorokan mata saya terbuka dan tersenyum merasakan sensasi rasanya. Berbeda dengan kopi Lampung yang cenderung keras dan asam, kopi Toraja terasa lebih mild. Ringan dengan pahit yang terasa di akhir tegukan. Kecupan pahit yang lembut itu akan mampir sejenak setelah kopi tertelan di kerongkongan. Jenis kopi yang cocok untuk saya yang tidak menyukai cita rasa kopi yang tajam dan keras namun tetap tidak kehilangan identitasnya sebagai kopi yang dihasilkan dari biji kopi terbaik.
Beberapa wisatawan asing tampak menyudahi sarapan mereka dan bersiap berangkat menjelajahi Toraja ditemani guide lokal. Sebuah cangkir kopi kosong yang masih hangat bertengger manis di atas meja yang sebelumnya ditempati dua wisatawan lokal. Pagi itu secangkir Toraja menemani saya menyesap indigeneous knowledge masyarakat lokal yang bersedia membuka diri mereka pada dunia luar. Memperkenalkan budaya turun temurun yang diwariskan nenek moyang mereka sekaligus berusaha mempertahankan budaya dan tradisi lokal di tengah gempuran modernitas yang terus bergerak maju.
....
(4 Hari Untuk Selamanya, wait for further stories)
....
(4 Hari Untuk Selamanya, wait for further stories)
0 Response to "Secangkir Toraja"
Posting Komentar