Bandara Soekarno Hatta awal 2010
Banyak orang memulai pengalaman pertama mereka menggunakan pesawat saat masih kecil. Saya ingat, banyak teman SD bercerita pengalaman mudik mereka menggunakan pesawat. Saya juga ingat banyak cerita pendek di majalah Bobo yang menceritakan pengalaman teman-teman pembaca saat menggunakan pesawat. "Saat aku terbang, rumah-rumah dan mobil-mobil makin lama terlihat semakin mengecil seperti semut," demikian mereka mendeskripsikan pengalaman tersebut.
Sementara saya, baru memulai pengalaman tersebut saat ini. Menggunakan budget airlines dengan tagline terkenal mereka Now Everyone Can Fly. Yah, kalau bukan karena budget airlines yang memberi harga luar biasa murah, mungkin saya tidak akan pernah merasakan pengalaman terbang dan melanglang jauh ke negeri seberang.
Kabin pesawat bergetar halus saat pesawat meninggalkan apron. Dari jendela saya melihat gedung bandara Soekarno Hatta yang tidak jauh berbeda dengan ingatan saya berpuluh tahun silam. Ya, walau ini adalah kali pertama saya menggunakan pesawat, namun bandara bukanlah tempat yang asing bagi saya. Lalu begitu saja. Seiring dengan makin cepatnya pesawat dipacu di runway, semakin berhambur pula kenangan demi kenangan masa kecil dalam memori. Menghadirkan perasaan campur aduk yang tidak dapat terdefinisikan kata-kata. Meluap hingga tenggorokan terasa sesak dan mata ikut panas. Saya ingat Papa.
Dulu. Dahulu sekali ketika saya masih SD, papa sering membawa saya dan Adik ke bandara. Dengan berganti angkutan umum, Papa mengajak kami ke bandara. Bukan untuk terbang, tapi untuk melihat pesawat datang dan pergi. Saat itu lantai dua Bandara Soekarno Hatta dibuka untuk umum dan kami dapat duduk-duduk disana menikmati pertunjukan pesawat langsung di depan mata. Desingan keras pesawat terdengar saat lepas landas dan terbang ke langit luas, lalu berganti dengan decitan rem saat pesawat lain mendarat. Hanya pemandangan sederhana seperti itu, namun saya dan Adik luar biasa senang melihatnya. Tak pernah bosan. Kami berlarian kesana kemari untuk mendapat tempat terbaik melihat pesawat yang datang dan pergi, tak jarang kami melambaikan tangan kepada pesawat yang pergi walau tak ada satu orang pun yang kami kenal dalam pesawat tersebut, kadang saya bertanya dalam hati, kemana pesawat tersebut pergi.
Saat itu terbang menggunakan pesawat adalah hal mewah dan mahal. Tidak semua orang dapat mencobanya. Namun tidak pernah terbit rasa iri saat teman-teman masa kecil bercerita pengalaman terbang mereka. Mungkin karena sering melihat pesawat take off dan landing saya jadi tersugesti untuk dapat merasakan sensasi terbang. Malah saya bisa membalas cerita mereka dengan pengalaman saya saat jalan-jalan ke bandara. Melihat orang-orang yang sibuk hilir mudik kesana-kemari membawa koper besar, melihat adegan perpisahan dan sambutan kedatangan, makan donat franchise asing yang selalu Papa belikan saat kami berada di sana, dan tentu saja yang menjadi atraksi utama di bandara: melihat pesawat besar datang dan pergi.
Sesungguhnya bandara bukan tempat ideal untuk mengajak anak-anak rekreasi. Mungkin hanya Papa seorang yang menjadikan kegiatan ini sebagai acara rekreasi keluarga. Mungkin hanya kami yang datang ke bandara bukan untuk naik pesawat.
'Aku lagi terbang, Pa,' bisik saya dalam hati. Berharap kalimat tersebut sampai ke Papa. Berpuluh tahun berlalu dari masa kecil saya, dan kini, saat ini, saya terbang.
Sesungguhnya bandara bukan tempat ideal sebagai tempat bermain. Namun Papa berulang kali mengajak anak-anaknya kesana. Dia menatap kami berlarian dan melambai pada pesawat yang pergi. Dalam hatinya dia berucap, 'suatu hari nanti, pergilah, terbanglah, lihatlah dunia yang luas ini dengan mata kalian.'
Dan saat itu, di dalam kabin pesawat, saya merasa sedang mendekap salah satu impian Papa.
Boarding Room Bandara Halim Perdanakusuma Maret 2014
Tak hanya Bandara Soekarno Hatta, Papa juga suka mengajak anak-anaknya pergi ke Bandara Halim Perdanakusuma. Itu baru saya ingat saat sedang menunggu di boarding room Bandara Halim Perdanakusuma. Saya mengulum senyum, lagi-lagi teringat Papa saat sedang berada di bandara.
Berbeda dengan Bandara Soekarno Hatta, acara jalan-jalan ke Bandara Halim Perdanakusuma ini jauh lebih menyenangkan karena kami dapat melihat atraksi pesawat tempur yang menjadi bagian dari acara ulang tahun TNI AU. Suara pesawat yang mendesing terdengar berkali-kali lebih kencang. Pesawat tempur terbang begitu rendah hingga saya berjongkok takut terkena pesawat. Belasan hingga puluhan pesawat tempur kemudian terbang membentuk beragam formasi, mengeluarkan warna-warni asap di udara, begitu meriah hingga seluruh penonton bertepuk-tangan riuh.
Senyum saya kemudian berganti menjadi gelengan kepala mengingat kebiasaan Papa membawa anak-anaknya ke bandara ini. Betapa tidak, jarak Bogor dengan kedua bandara yang berada di Jakarta ini tidaklah dekat. Dulu Papa tidak menggunakan bus Damri, beliau mengajak anak-anaknya naik turun angkutan umum demi dapat sampai ke bandara dan melihat pesawat. Satu waktu malah kami sekeluarga terlambat sampai ke Bandara Halim Perdanakusuma dan melihat atraksi pesawat tempur dari dalam bus padat penumpang. Tetap saja hal tersebut tidak mengurangi rasa antusias saya dan Adik, berdua kami menempelkan wajah di jendela bus demi dapat melihat atraksi pesawat tempur tersebut.
Di bandara saya selalu merasa hati saya menjadi hangat oleh begitu banyak kenangan masa kecil. Saya merasakan cinta yang begitu besar dari Papa. Seorang yang bermimpi dan bercita-cita besar untuk anak-anaknya. Seorang yang menginginkan anak-anaknya mengembangkan sayap dan terbang sejauh yang mereka bisa.
Dan kali ini, saya ke bandara bukan untuk melihat pesawat datang dan pergi. Saya ikut pergi dengan pesawat tersebut. Saya pergi untuk melihat dunia.
Tentang Papa
Kali pertama Papa terbang adalah saat beliau pergi naik haji. Sebuah pengalaman pertama yang tentunya akan sangat membekas di benak beliau. Papa akan dengan senang hati bercerita pengalamannya saat terbang.
"Duh, capek teh," jawab beliau heboh. "Sembilan jam kaki Papa ditekuk di pesawat. Mana jarak antar kursinya sempit banget lagi."
Saya melirik perut buncit Papa yang mungkin menjadi penyebab jarak antar kursi menjadi demikian sempit.
"Papa baru tau. Ada ya pesawat sekelas metromini begitu. Kayaknya jumlah kursinya sengaja dibuat melebihi jumlah kursi normal biar bisa mengangkut banyak penumpang."
Saya hanya bisa menggelengkan kepala mendengarnya. Daya imajinasi Papa ini memang luar biasa hebat! Kemudian Papa berganti tanya pada saya, "kamu ke Eropa dulu berapa jam di pesawat?"
Saya mengingat sebentar, "Jakarta - Doha delapan jam, lanjut lagi Doha - Stockholm enam jam."
"Oh, nggak jauh beda ya sama Papa," ucapnya sombong.
Papa memang tidak mau kalah jika membandingkan pengalaman terbangnya kepada siapa pun.
Pengalaman kedua Papa menggunakan pesawat adalah saat beliau pulang kampung ke Bengkulu. Hal di luar kebiasaan karena Papa lebih sering menggunakan mobil untuk pulang kampung. Selain itu jarak dari bandara ke kampung Papa masih berjarak lima jam perjalanan. Ini akan menjadi perjalanan Papa secara mandiri menggunakan pesawat. Tanpa ada yang menemani.
Berbusa-busa saya menjelaskan proses dan apa saja yang harus Papa lakukan di bandara dan pesawat. "Inget ya Pa, turun di terminal 1C. Di dalem cari antrian maskapai ini yang menuju Bengkulu, tas yang ini masuk bagasi, tas yang ini masuk kabin. Papa udah aku daftarin web check in, dapet duduknya di dekat jendela darurat. Kursinya lebih luas kalau di daerah itu."
Yang dibalas Papa dengan nada congkak, "ah, kalau cuma duduk sempit selama satu jam penerbangan sih nggak masalah. Kalau sembilan jam penerbangan itu baru masalah."
Saat hari keberangkatan, Papa mengirimkan satu pesan singkat dari boarding room.
'Iya teh, jalan-jalan. Ingat waktu teteh masih kecil kita naik bis mau nonton pesawat."
Dan Papa pun ternyata merasakan apa yang selalu saya rasakan ketika berada di bandara.
0 Response to "Bandara, Pesawat, dan Cinta Papa"
Posting Komentar