Alasan saya nggak suka kamera DSLR:
- Berat
- Ukurannya besar
- Ribet
- Nggak suka ngatur settingan kamera lewat view finder (jendela kecil kamera tempat ngintip sebelum motret)
Makanya saya lebih memilih kamera mirrorless yang dari segi ukuran lebih compact dibanding DSLR namun dari segi produksi foto nggak kalah dibanding DSLR.
Bagaimana jika saya, pemakai mirrorless sejati, tiba-tiba harus menggunakan DSLR untuk jalan-jalan, dan jalan-jalannya ke gunung? Ini terjadi saat saya mau berangkat trip Ranu Kumbolo - Bromo. Mirrorless kesayangan saya itu tiba-tiba rusak setelah saya ajak jalan-jalan ke kawah Ijen. Mungkin kemasukan debu halus saat saya mendaki kawah Ijen, mungkin karena saya terlalu gragas saat membuka kunci lensa sehingga sensornya putus, atau mungkin mirrorless saya lelah dan butuh istirahat di service center.
Setelah panik meminjam kamera kesana-sini dan tidak yakin ada orang yang cukup berani meminjamkan kameranya pada orang seceroboh saya, seorang Kakak Kelas Jaman Kuliah bersedia meminjamkan DSLR-nya. Heh, DSLR ya? Terbayanglah saya naik gunung manggul ransel ditambah satu tas kamera berisi DSLR. Semacam ransel saya kurang berat, masih harus ditambah pula bawa DSLR yang berat itu.
Saya makin shock saat Kakak Kelas Jaman Kuliah membawa DSLR yang akan dipinjamkan. Dulu saya pernah memakai Canon EOS 550D dan menurut saya kamera itu besar, berat, dan ribet. Banget! Sedangkan DSLR yang dipinjamkan ini, Canon EOS 60D, ukurannya lebih besar dan berat dibandingkan Canon EOS 550D saya dulu. Belum lagi lensa Tamron AF 15-50mm yang dipasang pada bodi kamera membuat DSLR pinjaman ini bertambah besar dan berat. Duh, mau motret kok ribet amat ya.
Satu hal yang membuat saya merasa terintimidasi oleh DSLR pinjaman ini adalah kode EOS 60D yang menempel pada bodi kamera. Sebuah kamera semi-pro dengan harga yang sanggup membuat tabungan saya menangis histeris dengan kemampuan produksi foto yang amat sangat mumpuni. Dengan segala kecanggihan fitur yang Canon tanamkan ke dalam kamera ini, masa iya saya stuck menggunakan menu iAuto? Saya yang gaptek banget dan udah lama nggak pegang DSLR menyempatkan diri untuk broswing penggunaan Canon EOS 60D dan kursus singkat pada Kakak Kelas Jaman Kuliah. Walau jauh dari memadai, paling tidak saya tahu bagaimana cara mengatur settingan kamera dan pengoperasian berbagai tombol ajaib yang melekat pada kamera.
Untuk saya yang udah lama nggak pegang DSLR dan mainannya mirorrless, memotret dari view finder itu susah banget! Mirrorless tidak memiliki view finder, jadi penggunanya tinggal mengatur settingan sekaligus memotret melalui LCD kamera (live view). Sementara DSLR menawarkan dua opsi: view finder dan live view. Kekurangan memotret menggunakan live view di DSLR adalah sulitnya mengunci titik fokus (atau mungkin karena saya yang kelewat gaptek), jadi mau tidak mau saya harus mengandalkan view finder. Berhubung saya benci banget ngatur settingan kamera lewat view finder, jadi saya siasati mengatur settingan di live view dulu setelah itu baru mengunci titik fokus dan memotret melalui view finder. Ribet ye? Banget. Makanya saya cinta mirrorless *teteup*. Masalah ternyata tidak berhenti sampai disitu. Mengunci titik fokus di view finder juga menimbulkan kesulitan tersendiri. Dengan mata mengintip di view finder saya harus meraba-raba bodi kamera mencari tombol-tombol yang diperlukan untuk mengunci titik fokus. Ini ribetnya jadi berasa pangkat sejuta deh :(
Dengan segala keribetan yang akan ditimbulkan oleh DSLR ini, berangkatlah saya ke Ranu Kumbolo. Tas kamera saya selempangkan di bahu karena ransel sudah tidak bisa menampung barang lagi. Awal perjalanan saya masih semangat mendaki, namun lama-kelamaan tali tas kamera yang berat mulai terasa mengiris bahu. Gini deh, jadi anak kota yang jarang naik gunung. Manggul ransel sama tas kamera yang lebih berat dari biasanya langsung berasa dunia mau kiamat. Jangankan mengeluarkan kamera dari tas untuk memotret pemandangan yang dilewati, jalan saya aja udah miring-miring nggak jelas. Medan perjalanan juga tidak bisa dibilang mudah. Walau tanjakan yang dilewati mayoritas tanjakan landai, tapi kalau mendaki tanjakan landai selama empat jam juga kan capek. Belum lagi kadang tiba-tiba tanjakan dan turunan curam menyapa, tambah menderitalah saya merayap sambil menjaga agar kamera tidak jatuh, terbentur atau terguncang. Pokoknya ini nggak lucu banget kalau saya udah cape-cape manggul DSLR ngerayap naik gunung lalu nggak dapat foto bagus dari kamera ini.
Nyempetin motret sunset kemudian ketinggalan rombongan -__-
Setelah mendaki selama hampir empat jam, saya dan rombongan sampai ke Ranu Kumbolo. Malam sudah jatuh dan gugusan bintang memenuhi langit di atas sana. Terakhir kali saya melihat bintang sebanyak, secantik, dan sedekat ini saat saya ke kawah Ijen. Saat itu saya mencoba memotret bintang dengan kamera mirrorless, dan hasilnya gagal total. Kali ini, dengan DSLR semi pro yang sudah membuat bahu terasa kebas saya akan kembali mencoba memotret langit. Malam semakin pekat saat tenda selesai berdiri dan kami selesai makan malam seadanya. Saatnya saya mempraktekkan ilmu memotret konstelasi bintang hasil googling. Tripod siap, settingan kamera siap, dan saya tinggal berdoa saat menekan tombol shutter. Kamera mengeluarkan bunyi klik pelan saat selesai memotret. Begitu saya melihat hasilnya rasanya semua perjuangan dan keribetan membawa DSLR ini terbayar sudah.
Magical milky way
Paginya, saat hunting foto di sekitaran Ranu Kumbolo, saya sama sekali tidak merasa direpotkan oleh pengaturan setting kamera melalui live view maupun view finder. Awalnya memang agak kaku menekan tombol untuk mencari titik fokus, namun setelah jari saya mengenal bodi kamera dan tombol-tombol yang diperlukan, saya malah lebih menikmati mengeset titik fokus melalui jendela view finder. Saya sendiri kaget menyadari mudahnya saya beradaptasi menggunakan DSLR padahal dulu saya selalu merasa diintimidasi olehnya. Mungkin karena selama tiga tahun terakhir menggunakan mirrorless membuat basic pengetahuan saya tentang kamera dan fotografi menjadi lebih terasah.
Sunrise di Ranu Kumbolo
Clear blue sky
Ranu Kumbolo as seen from top of tanjakan cinta
Puncak Semeru di balik gunung itu
Going nowhere
Setelah memotret milky way dan pemandangan alam Ranu Kumbolo, target selanjutnya adalah memotret sunrise dari viewpoint Penanjakan. Hal yang sama sekali tidak saya antisipasi adalah membludaknya pengunjung yang ingin melihat dan mengabadikan sunrise dari tempat ini. Dari jam empat pagi pengunjung sudah memadati dan menempati tempat-tempat strategis untuk memotret maupun sedekar menikmati sunrise. Beruntung teman serombongan saya sudah pernah ke Penanjakan dan tahu betul tempat terbaik untuk memotret sunrise. Dengan badan kecilnya dia menyelip diantara para turis bule dengan kamera DSLR yang siap membidik ke arah terbitnya matahari. Setelah mengamankan spot tersebut dia memanggil saya yang masih sibuk memasang kamera ke tripod.
Satu hal yang tidak saya prediksi sebelumnya saat akan memotret sunrise di Pananjakan. Selain harus berebut spot foto dengan ratusan pengunjung lain, pagar pembatas yang didirikan tidak memberi keleluasaan untuk menempatkan tripod. Hampir seluruh pengunjung yang menguasai bibir pagar memanjat pagar dan berdiri disana untuk mendapat pemandangan yang lebih luas dan tidak terbatas. Sementara saya kebingungan bagaimana cara mendirikan tripod di celah pagar yang tidak seberapa luas tersebut. Masa iya motret sunrise tanpa tripod. Dengan teknik slow speed untuk menangkap cahaya lebih banyak, mustahil saya bisa menahan kamera selama 30 detik tanpa bergerak.
Jadilah saya nekat. Di celah pagar sempit tersebut saya memasang tripod dengan lebar bukaan tidak sampai 30 cm. Kalau kamera pinjaman ini sampai tersenggol pengunjung lain yang lagi nongkrong di pagar, tamatlah riwayatnya terjun bebas ke jurang. Maka setiap menekan shutter dan kamera memotret dalam slow speed, saya hanya berdoa. Berdoa agar kamera tidak goyang, apalagi jatuh. Berdoa agar pengunjung lain tidak ceroboh menyenggol kamera saya. Berdoa agar foto yang dihasilkan tidak mengecewakan.
Yang menyebalkan dari acara hunting sunrise ini adalah seluruh pengunjungnya gragas memotret. Terutama turis bule! Mereka heboh banget memotret ke penjuru arah, seperti tidak mau melewatkan momen sunrise sedetik pun! Masalahnya, cara memotret mereka yang gragas itu merusak hasil foto saya. Di beberapa frame foto yang susah payah saya hasilkan terlihat kilatan blitz karena bule di samping saya memotret menggunakan blitz. Di beberapa frame foto lainnya malah terdapat bayangan samar lensa panjang kamera karena bule di samping saya memotret dengan terlalu gragas hingga lensa kameranya memasuki area foto saya.
Yang menyebalkan dari acara hunting sunrise ini adalah seluruh pengunjungnya gragas memotret. Terutama turis bule! Mereka heboh banget memotret ke penjuru arah, seperti tidak mau melewatkan momen sunrise sedetik pun! Masalahnya, cara memotret mereka yang gragas itu merusak hasil foto saya. Di beberapa frame foto yang susah payah saya hasilkan terlihat kilatan blitz karena bule di samping saya memotret menggunakan blitz. Di beberapa frame foto lainnya malah terdapat bayangan samar lensa panjang kamera karena bule di samping saya memotret dengan terlalu gragas hingga lensa kameranya memasuki area foto saya.
Sunrise
Gunung Bromo, gunung Batok, dan gunung Semeru dilihat dari satu titik
Di akhir trip, entah bagaimana asal mulanya, saya merasa jatuh cinta dengan DSLR. Melihat hasil produksi fotonya yang luar biasa memuaskan, cara pengoperasiannya yang walau sedikit lebih repot namun tetap menyenangkan, membuat saya mentolerir segala keribetan yang kerap menyertai DSLR.
Mungkin ini karma, tapi kini ku jatuh cintaaaa....
Mungkin ini karma, tapi kini ku jatuh cintaaaa....
0 Response to "Karma DSLR"
Posting Komentar